Indonesiaterhubung.id – Ulasan lengkap tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku deepfake Pornography serta tantangan hukum dalam era kecerdasan buatan.
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa banyak manfaat dalam berbagai bidang, mulai dari hiburan hingga pendidikan. Namun di sisi lain, teknologi ini juga memunculkan ancaman baru, salah satunya adalah deepfake pornography — penyalahgunaan teknologi untuk membuat konten pornografi palsu dengan wajah seseorang tanpa izin.
Fenomena ini menimbulkan dampak serius terhadap privasi, reputasi, dan martabat korban, sekaligus menimbulkan tantangan baru dalam dunia hukum, khususnya terkait pertanggungjawaban pidana pelaku deepfake pornography.
Artikel ini membahas secara mendalam bagaimana hukum pidana dapat menjerat pelaku kejahatan ini serta celah hukum yang perlu segera diperkuat.
BACA JUGA : AI dan Otomasi: Meningkatkan Efisiensi Rantai Pasok
1. Apa Itu Deepfake Pornography?
Deepfake berasal dari gabungan kata “deep learning” dan “fake”, yaitu teknologi berbasis kecerdasan buatan yang digunakan untuk memanipulasi video atau gambar agar tampak nyata.
Dalam konteks pornografi, teknologi ini digunakan untuk menempelkan wajah seseorang ke tubuh orang lain dalam video atau foto pornografi, sehingga seolah-olah korban benar-benar terlibat dalam konten tersebut.
Deepfake pornography biasanya disebarkan di media sosial, forum daring, atau situs berbagi video, dan sering kali digunakan untuk balas dendam (revenge porn), pelecehan digital, atau pemerasan.
Meskipun tampak seperti “rekayasa digital”, akibat yang ditimbulkan sangat nyata: korban bisa kehilangan pekerjaan, mengalami trauma psikologis, bahkan menjadi korban kekerasan berbasis gender.
2. Unsur Kejahatan dalam Deepfake Pornography
Pembuatan dan penyebaran konten deepfake pornografi mengandung beberapa unsur kejahatan yang diatur dalam hukum pidana, antara lain:
a. Unsur Pornografi
Konten deepfake yang menampilkan aktivitas seksual eksplisit jelas termasuk kategori pornografi, meskipun tidak melibatkan pelaku sebenarnya. Hal ini karena tujuan dan hasil akhirnya tetap bersifat pornografis, sesuai definisi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
b. Unsur Pelanggaran Privasi
Deepfake dibuat tanpa persetujuan individu yang wajahnya digunakan. Ini berarti ada pelanggaran hak privasi dan integritas personal korban, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik atau pelecehan.
c. Unsur Distribusi dan Penyebaran Konten Terlarang
Ketika pelaku menyebarkan video deepfake melalui internet, mereka melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal yang mengatur tentang penyebaran konten yang melanggar kesusilaan.
3. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana di Indonesia
Meskipun Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai deepfake, sejumlah undang-undang yang berlaku dapat digunakan untuk menjerat pelaku:
a. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pasal 29 menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau menyebarkan pornografi dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan denda hingga Rp6 miliar.
Meskipun deepfake merupakan hasil manipulasi digital, selama memenuhi unsur pornografi dan penyebarannya melanggar norma kesusilaan, pelaku tetap dapat dijerat dengan pasal ini.
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Pasal 27 ayat (1) mengatur larangan distribusi atau transmisi informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Pelaku dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda Rp1 miliar.
Pembuatan dan penyebaran deepfake pornografi melalui platform digital termasuk dalam kategori ini.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Selain UU ITE, pelaku juga dapat dijerat dengan pasal-pasal KUHP seperti:
- Pasal 310 KUHP (pencemaran nama baik)
- Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan)
- Pasal 281 KUHP (pelanggaran kesusilaan di muka umum)
Kombinasi pasal-pasal ini bisa diterapkan untuk memperkuat sanksi terhadap pelaku deepfake.
4. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Deepfake
Dalam hukum pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban jika memenuhi unsur-unsur berikut:
- Adanya perbuatan pidana (actus reus) — yaitu tindakan membuat, memodifikasi, atau menyebarkan konten deepfake pornografi.
- Adanya niat jahat (mens rea) — pelaku memiliki kesadaran dan kehendak untuk mencemarkan atau merugikan korban.
- Adanya akibat yang ditimbulkan — seperti kerugian moral, sosial, atau psikologis terhadap korban.
Berdasarkan unsur tersebut, pelaku dapat dikategorikan sebagai pembuat (creator), penyebar (distributor), atau pihak yang memanfaatkan konten.
Masing-masing peran memiliki tingkat kesalahan yang berbeda, tetapi seluruhnya dapat dikenai pertanggungjawaban pidana sesuai peran dan dampaknya terhadap korban.
5. Tantangan Penegakan Hukum
Meski perangkat hukum sudah ada, penegakan hukum terhadap pelaku deepfake pornography menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:
a. Sulitnya Pembuktian Digital
Teknologi deepfake sangat canggih dan sulit dibedakan dari video asli. Proses forensik digital untuk membuktikan keaslian manipulasi membutuhkan keahlian dan alat khusus.
b. Anonimitas Pelaku
Pelaku sering menggunakan identitas palsu atau server luar negeri untuk menyebarkan konten. Hal ini menyulitkan aparat hukum dalam melacak keberadaan dan identitas pelaku.
c. Kekosongan Hukum
Belum ada regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur kejahatan berbasis AI. Akibatnya, banyak kasus yang harus “dipaksakan” masuk ke dalam pasal umum, sehingga hukuman yang dijatuhkan tidak selalu proporsional dengan dampak yang ditimbulkan.
6. Perlindungan bagi Korban Deepfake Pornography
Selain menjerat pelaku, negara juga perlu memberikan perlindungan hukum dan psikologis bagi korban.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:
- Pemulihan reputasi digital, dengan menghapus konten deepfake dari platform online.
- Pendampingan hukum dan psikologis, terutama bagi korban yang mengalami trauma dan tekanan sosial.
- Kampanye literasi digital, agar masyarakat lebih waspada terhadap penyalahgunaan teknologi AI.
7. Urgensi Regulasi Khusus Deepfake di Indonesia
Melihat kompleksitas masalah ini, diperlukan regulasi baru yang secara spesifik mengatur teknologi deepfake. Aturan tersebut perlu mencakup:
- Definisi hukum tentang deepfake dan batas penggunaannya.
- Ketentuan pidana bagi pembuat, penyebar, dan pengguna konten deepfake ilegal.
- Mekanisme pengawasan penggunaan AI di ranah publik dan media digital.
Dengan regulasi yang jelas, aparat penegak hukum dapat bertindak lebih efektif, sementara masyarakat memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat.
Kesimpulan
Deepfake pornography merupakan bentuk kejahatan digital baru yang berpotensi merusak kehormatan dan privasi seseorang. Meskipun Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur secara eksplisit, pelaku tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana melalui UU Pornografi, UU ITE, dan KUHP.
Namun, agar hukum dapat mengikuti perkembangan teknologi, dibutuhkan pembaruan regulasi dan peningkatan kapasitas penegakan hukum digital.
Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan, korban mendapat perlindungan yang layak, dan teknologi AI dapat dimanfaatkan secara etis dan bertanggung jawab di masa depan.
