Indonesiaterhubung.id – Mengupas tuntas polemik utang Kereta Cepat Whoosh (KCIC) yang membengkak, potensi beban keuangan BUMN, skema restrukturisasi, dan isu transparansi publik.
Mengerem Laju Kontroversi Utang Whoosh
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang kini dikenal dengan nama ikonik Whoosh, adalah simbol ambisi modernisasi transportasi Indonesia. Dengan kecepatan yang memukau dan teknologi canggih, Whoosh menjadi kebanggaan sebagai kereta cepat pertama di Asia Tenggara. Namun, di balik hype dan kemegahannya, proyek ini menyimpan sebuah isu krusial yang terus bergulir menjadi polemik panas di kalangan publik, pakar, dan pemerintah: beban utang jumbo yang membengkak dan membebani neraca keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia.
Polemik ini bukan sekadar urusan teknis keuangan, melainkan juga menyentuh aspek transparansi tata kelola negara, risiko fiskal, dan masa depan BUMN. Utang Whoosh, yang nilainya ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah, telah memicu perdebatan sengit tentang siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana skema pembayaran terbaik harus dijalankan agar tidak menjadi “bom waktu” bagi keuangan negara.
BACA JUGA : Sidang Etik Ahmad Sahroni oleh MKD DPR Dimulai Akhir Oktober
Struktur Pembiayaan dan Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) Utang Whoosh
Proyek Whoosh didanai melalui skema Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN di awal rencana. Pelaksana proyek adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah perusahaan patungan (JV) antara konsorsium BUMN Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium perusahaan Tiongkok.
Secara garis besar, struktur pendanaannya terdiri dari:
- Pinjaman: Sekitar 75% dari total biaya proyek dipenuhi melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB). Pinjaman ini memiliki tenor panjang, namun tetap disertai kewajiban pembayaran bunga tahunan yang signifikan.
- Ekuitas: Sekitar 25% sisanya dipenuhi dari ekuitas (modal) para pemegang saham, dengan porsi mayoritas berada di pihak konsorsium Indonesia (PSBI) dan sisanya dari pihak Tiongkok.
Awalnya, biaya proyek diperkirakan sekitar US$6,07 miliar. Namun, dalam perjalanannya, proyek ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) yang substansial, diperkirakan mencapai sekitar US$1,2 miliar hingga US$1,5 miliar. Angka pembengkakan ini mendorong total biaya proyek menembus angka sekitar US$7,2 miliar (setara lebih dari Rp110 triliun dengan kurs saat ini).
Inilah sumber utama polemik. Pembengkakan biaya tersebut harus ditanggung oleh kedua konsorsium, dengan porsi terbesar dibebankan kepada pihak Indonesia. Melalui penambahan utang baru dari Tiongkok. Kondisi ini secara langsung membebani neraca keuangan BUMN yang tergabung dalam PSBI. Terutama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI sebagai pimpinan konsorsium.
Jerat Bunga Utang Whoosh dan Beban KAI
Beban utang yang besar ini membawa konsekuensi langsung berupa kewajiban bunga tahunan yang juga jumbo. Diperkirakan, bunga pinjaman yang harus dibayar KCIC ke Tiongkok mencapai angka sekitar Rp2 triliun setiap tahunnya. Jumlah ini menjadi sangat memberatkan, terutama karena operasional Whoosh belum sepenuhnya stabil dan belum mencapai target okupansi yang ideal untuk menutup biaya operasional dan kewajiban bunga.
BUMN di bawah kendali KAI diproyeksikan akan terus menanggung beban keuangan yang signifikan akibat kewajiban ini, bahkan sebelum laba bersih optimal bisa dicapai. Para pengamat khawatir kondisi ini akan menggerus kemampuan finansial BUMN untuk menjalankan program dan investasi strategis lainnya di sektor perkeretaapian dan infrastruktur. Istilah “bom waktu” kerap disematkan pada beban utang yang dipikul KAI dari proyek KCJB.
Skema Solusi dan Perdebatan APBN
Merespons polemik utang ini, pemerintah mulai mengambil langkah, salah satunya adalah melalui diskusi dan negosiasi restrukturisasi utang dengan pihak Tiongkok. Opsi restrukturisasi yang diajukan antara lain mencakup:
- Perpanjangan Tenor Pinjaman: Memperpanjang jangka waktu pembayaran utang dari 40 tahun menjadi lebih lama, seperti 60 tahun.
- Penurunan Suku Bunga: Melobi penurunan suku bunga pinjaman agar beban bunga tahunan menjadi lebih ringan.
- Masa Tenggang (Grace Period): Meminta perpanjangan masa tenggang sebelum kewajiban pembayaran pokok utang dimulai.
Selain itu, skema pembayaran bunga utang juga menjadi sorotan. Sempat muncul wacana untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menalangi sebagian atau seluruh kewajiban utang. Wacana ini langsung menuai kritik tajam, mengingat janji awal proyek yang tidak menggunakan APBN dan skema B2B.
Sejumlah pejabat pemerintah dan BUMN, termasuk superholding BUMN, Danantara. Mereka menegaskan bahwa utang Whoosh sedapat mungkin harus diselesaikan oleh BUMN terkait. Misalnya melalui dividen BUMN atau skema finansial internal lainnya, tanpa membebani APBN. Namun, kekhawatiran publik tetap tinggi mengingat tingginya risiko gagal bayar yang dapat berujung pada keterlibatan APBN.
Di tengah upaya restrukturisasi, Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) juga didorong untuk mengusut dugaan mark up atau penyelewengan dalam pembengkakan biaya proyek. Hal ini penting untuk memastikan bahwa beban utang yang ditanggung BUMN adalah murni akibat dinamika proyek, bukan karena praktik korupsi.
Transparansi, Komunikasi, dan Harapan ke Depan
Polemik utang Whoosh ini menyoroti pentingnya transparansi dan komunikasi krisis yang jelas dari pemerintah dan BUMN. Publik memerlukan penjelasan yang konsisten dan meyakinkan tentang:
- Angka pasti total utang dan rincian bunga.
- Skema pembayaran yang akan diterapkan dan siapa yang bertanggung jawab.
- Dampak riil terhadap neraca keuangan BUMN, khususnya KAI.
- Progres negosiasi restrukturisasi dengan Tiongkok.
Tanpa komunikasi yang tegas dan satu pintu, polemik ini akan terus memicu spekulasi dan mengurangi kepercayaan publik.
Keberhasilan proyek Whoosh tidak hanya diukur dari kecepatan operasionalnya, tetapi juga dari keberlanjutan finansialnya. Pemerintah dan BUMN harus mencari solusi jangka panjang yang paling rasional. Fokus ke depan harus diarahkan pada: efisiensi operasional, peningkatan okupansi melalui konektivitas last mile yang lebih baik (terutama di Stasiun Padalarang dan Tegalluar), dan restrukturisasi utang yang menguntungkan Indonesia. Jika tantangan ini tidak dikelola dengan bijak, Whoosh—yang seharusnya menjadi ikon kemajuan—justru berpotensi menjadi warisan beban fiskal bagi generasi mendatang.
