Indonesiaterhubung.id – Restorative justice menjadi pendekatan hukum alternatif untuk keadilan sosial. Namun, apakah ini solusi manusiawi atau justru celah hukum bagi pelaku pidana?
1. Pengantar: Konsep Baru dalam Dunia Hukum
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah restorative justice atau keadilan restoratif semakin sering dibicarakan di dunia hukum Indonesia. Pendekatan ini menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan hanya pada hukuman semata.
Restorative justice berusaha mengembalikan keseimbangan sosial yang rusak akibat tindak pidana. Namun, di balik konsepnya yang humanis, muncul perdebatan: apakah keadilan restoratif benar-benar menjadi solusi yang adil bagi semua pihak, atau justru membuka celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan?
BACA JUGA : Reformasi Perpajakan: Upaya Peningkatan Kepatuhan Negara
2. Apa Itu Restorative Justice?
Restorative justice adalah pendekatan penegakan hukum yang berfokus pada pemulihan kerugian akibat tindak pidana melalui dialog antara korban, pelaku, dan masyarakat. Tujuannya bukan sekadar menghukum, tetapi memperbaiki keadaan agar semua pihak mendapatkan rasa keadilan.
Berbeda dengan sistem peradilan konvensional yang menekankan pada balas dendam dan hukuman, keadilan restoratif menawarkan jalan damai melalui mediasi dan kesepakatan bersama.
Prinsip utama restorative justice meliputi:
- Pengakuan dan tanggung jawab pelaku atas perbuatannya.
- Keterlibatan korban dalam proses penyelesaian.
- Pemulihan kerugian materiil maupun emosional.
- Reintegrasi sosial bagi pelaku agar dapat kembali ke masyarakat.
Pendekatan ini banyak digunakan untuk kasus-kasus ringan seperti pencurian kecil, perkelahian, atau tindak pidana yang tidak menimbulkan korban jiwa.
3. Keuntungan dari Penerapan Restorative Justice
1. Mengedepankan Kemanusiaan dan Empati
Restorative justice menempatkan manusia sebagai pusat penyelesaian. Korban diberi ruang untuk menyampaikan perasaan dan mendapatkan permintaan maaf langsung dari pelaku. Hal ini dapat memberikan rasa lega dan mengurangi trauma psikologis.
2. Mengurangi Beban Lembaga Peradilan dan Penjara
Dengan menyelesaikan perkara di luar pengadilan, sistem peradilan pidana tidak perlu menanggung beban kasus ringan yang menumpuk. Selain itu, jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan juga dapat ditekan.
3. Mendorong Tanggung Jawab Sosial Pelaku
Pelaku tidak hanya sekadar menjalani hukuman, tetapi juga diajak memahami akibat perbuatannya. Proses ini bisa menumbuhkan rasa empati dan kesadaran moral yang lebih tinggi.
4. Menghasilkan Keadilan yang Lebih Relevan
Dalam banyak kasus, korban tidak hanya menginginkan hukuman berat bagi pelaku, tetapi juga pemulihan kerugian dan permintaan maaf. Pendekatan ini membuat keadilan terasa lebih “hidup” dan nyata.
4. Risiko dan Potensi Penyalahgunaan Restorative Justice
Meskipun terdengar ideal, penerapan restorative justice tidak lepas dari risiko dan celah hukum.
1. Potensi Manipulasi oleh Pelaku
Ada kemungkinan pelaku memanfaatkan mekanisme ini untuk menghindari hukuman pidana, terutama jika memiliki kekuatan finansial atau pengaruh sosial yang besar.
2. Tekanan terhadap Korban
Dalam praktiknya, korban bisa merasa tertekan untuk memaafkan pelaku karena tekanan sosial atau ekonomi, terutama jika mediasi dilakukan tanpa pendampingan hukum yang memadai.
3. Tidak Cocok untuk Semua Kasus
Restorative justice tidak dapat diterapkan pada kasus berat seperti pembunuhan, kekerasan seksual, atau korupsi. Jika dipaksakan, hal ini bisa merusak rasa keadilan publik.
4. Ketimpangan Kekuatan dalam Proses Mediasi
Proses dialog antara pelaku dan korban bisa berjalan tidak seimbang jika salah satu pihak memiliki posisi sosial atau ekonomi yang lebih tinggi. Ini bisa menyebabkan hasil kesepakatan tidak adil.
5. Regulasi Restorative Justice di Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung telah mengatur pelaksanaan keadilan restoratif dalam berbagai peraturan. Beberapa di antaranya menegaskan bahwa restorative justice dapat dilakukan jika:
- Pelaku mengakui kesalahan dan menyesal atas perbuatannya.
- Korban dan pelaku setuju untuk berdamai.
- Tindak pidana yang dilakukan beratnya di bawah 5 tahun penjara.
Dengan adanya batasan ini, diharapkan restorative justice tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, melainkan benar-benar dijalankan demi keadilan dan kemanusiaan.
Namun, tantangan terbesar terletak pada pengawasan pelaksanaan di lapangan. Tanpa kontrol yang ketat, keadilan restoratif bisa berubah menjadi alat kompromi yang hanya menguntungkan pihak tertentu.
6. Menemukan Titik Seimbang antara Keadilan dan Kemanusiaan
Restorative justice pada dasarnya adalah bentuk evolusi hukum modern yang menekankan pada pemulihan, bukan pembalasan. Akan tetapi, penerapannya harus disertai integritas aparat penegak hukum, transparansi proses, dan perlindungan hak korban.
Sistem ini bisa menjadi solusi kemanusiaan jika diterapkan dengan prinsip keadilan sejati — bukan hanya formalitas atau kesepakatan sepihak. Namun jika tidak diawasi, restorative justice justru bisa menjadi celah hukum yang melemahkan sistem peradilan pidana dan menurunkan kepercayaan publik terhadap hukum.
7. Kesimpulan
Restorative justice menghadirkan wajah baru hukum yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan sosial. Ia bisa menjadi solusi efektif dalam membangun harmoni masyarakat dan mengurangi beban peradilan.Namun, sistem ini juga menyimpan potensi bahaya bila dijalankan tanpa etika dan pengawasan yang ketat. Maka dari itu, keseimbangan antara kemanusiaan, keadilan, dan supremasi hukum harus dijaga agar restorative justice benar-benar menjadi solusi — bukan celah bagi pelaku pidana. ⚖️
