Eksistensi Delik Penghinaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Eksistensi Delik Penghinaan

Indonesiaterhubung.id – Bahas eksistensi delik penghinaan dalam hukum pidana Indonesia, dasar hukumnya, batas kebebasan berekspresi, dan tantangan penegakannya di era digital.

Pengantar

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental setiap individu. Namun, kebebasan tersebut tidak bersifat absolut. Di Indonesia, hukum pidana masih mengatur delik penghinaan, yaitu tindak pidana yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

Eksistensi delik ini menjadi perdebatan panjang, terutama di tengah berkembangnya era digital dan media sosial, di mana batas antara kritik dan penghinaan semakin kabur. Tulisan ini akan membahas dasar hukum, bentuk, serta tantangan keberlakuan delik penghinaan dalam sistem hukum pidana Indonesia.


BACA JUGA : Kejahatan Pencucian Uang Era Digital: Modus & Penanggulangan

Pengertian Delik Penghinaan

Secara umum, delik penghinaan adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduh, memfitnah, atau merendahkan martabat seseorang di muka umum.

Dalam hukum pidana Indonesia, delik ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab XVI tentang Penghinaan. Tujuannya adalah melindungi kehormatan pribadi seseorang agar tidak tercemar oleh pernyataan yang merugikan secara moral maupun sosial.

Menurut doktrin hukum, penghinaan mencakup dua unsur utama:

  1. Adanya perbuatan yang merendahkan martabat orang lain.
  2. Dilakukan dengan sengaja dan disampaikan kepada pihak ketiga.

Artinya, jika suatu tuduhan atau pernyataan hanya diketahui oleh pelaku dan korban, maka belum termasuk kategori penghinaan publik.


Dasar Hukum Delik Penghinaan dalam KUHP

KUHP Indonesia mengatur berbagai bentuk penghinaan dengan tingkat keseriusan yang berbeda. Beberapa pasal penting yang mengatur hal ini antara lain:

  • Pasal 310 KUHP – Mengatur tentang penghinaan berupa pencemaran nama baik yang dilakukan secara lisan atau tulisan.
  • Pasal 311 KUHP – Mengatur tentang fitnah, yaitu tuduhan palsu yang diketahui tidak benar oleh pelaku.
  • Pasal 315 KUHP – Mengatur penghinaan ringan, seperti kata-kata kasar atau gestur yang menyinggung kehormatan seseorang.
  • Pasal 316 KUHP – Memberikan pemberatan hukuman apabila penghinaan dilakukan terhadap pejabat atau dalam konteks jabatan publik.
  • Pasal 317 dan 318 KUHP – Mengatur perbuatan mengadu secara palsu atau menuduh seseorang melakukan tindak pidana tanpa dasar.

Sanksinya bervariasi mulai dari pidana denda hingga penjara paling lama empat tahun, tergantung pada bentuk dan dampak penghinaan tersebut.


Delik Penghinaan dan Perkembangan di Era Digital

Seiring kemajuan teknologi informasi, bentuk penghinaan tidak lagi terbatas pada media cetak atau lisan. Media sosial kini menjadi ruang publik baru di mana ujaran kebencian, fitnah, dan pencemaran nama baik mudah tersebar.

Untuk menyesuaikan perkembangan tersebut, pemerintah memperkuat pengaturan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian diperbarui dengan UU No. 19 Tahun 2016.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dipidana.”

Pasal ini menjadi bentuk delik penghinaan dalam ruang siber, dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp750 juta.

Namun, penerapan pasal ini sering menuai kritik karena dianggap mengekang kebebasan berekspresi dan menimbulkan efek jera terhadap masyarakat yang ingin menyampaikan kritik terhadap pemerintah atau pejabat publik.


Polemik dan Tantangan Penegakan Hukum

Eksistensi delik penghinaan memunculkan dua pandangan besar di kalangan akademisi dan praktisi hukum:

1. Kelompok yang Mendukung

Mereka berpendapat bahwa delik penghinaan tetap diperlukan untuk menjaga martabat, kehormatan, dan ketertiban sosial.
Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai sopan santun dan moral, penghinaan publik dapat menimbulkan konflik horizontal, bahkan kekerasan.

Selain itu, dalam konteks digital, pasal penghinaan dianggap penting untuk melawan penyebaran fitnah dan hoaks yang bisa merusak reputasi seseorang dalam hitungan detik.

2. Kelompok yang Menolak atau Mengkritik

Sebaliknya, banyak ahli hukum yang menilai pasal-pasal penghinaan di KUHP dan UU ITE sudah tidak relevan dengan prinsip demokrasi modern.
Alasannya, batas antara kritik dan penghinaan sering kali ditafsirkan secara subjektif oleh aparat penegak hukum, sehingga rawan digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat.

Selain itu, sifat delik aduan (hanya dapat diproses jika korban melapor) terkadang disalahgunakan oleh pihak-pihak yang merasa “terhina” hanya karena kritik yang sah.


Arah Pembaruan Hukum: KUHP Baru dan Delik Penghinaan

Melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan pada tahun 2022, pemerintah berupaya mereformulasi delik penghinaan agar lebih sesuai dengan nilai-nilai konstitusional dan hak asasi manusia.

Beberapa pembaruan penting antara lain:

  • Penekanan bahwa penghinaan terhadap pejabat publik hanya dapat dipidana jika dilakukan dengan niat jahat, bukan sebagai bentuk kritik.
  • Pembedaan antara penghinaan pribadi dan penghinaan terhadap institusi negara agar tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik sosial.
  • Pendekatan restorative justice, di mana penyelesaian bisa dilakukan di luar pengadilan melalui mediasi atau permintaan maaf.

Langkah ini menunjukkan bahwa negara berupaya menyeimbangkan antara perlindungan kehormatan individu dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945.


Kesimpulan

Eksistensi delik penghinaan dalam hukum pidana Indonesia masih relevan selama dijalankan secara proporsional dan adil. Delik ini berfungsi melindungi hak asasi setiap individu atas kehormatan dan nama baik, namun tetap harus disesuaikan dengan nilai demokrasi dan kebebasan berbicara.

Di era digital, hukum harus mampu membedakan antara kritik yang membangun dan penghinaan yang merusak. Dengan penegakan hukum yang objektif, edukasi masyarakat tentang etika komunikasi, dan reformasi regulasi yang berkeadilan, delik penghinaan dapat tetap eksis sebagai instrumen hukum yang melindungi tanpa mengekang.Hukum seharusnya bukan alat untuk menakut-nakuti, melainkan penjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial. ⚖️